Friday, December 10, 2021

Susahnya Jadi Perempuan


Semakin bertambahnya usia, semakin bertambah dewasa, apalagi setelah punya anak saya lebih mudah berempati pada orang lain. Tidak mudah menghakimi keputusan orang lain. Juga enggan mencampuri urusan orang lain. Selain karena akan menghabiskan energi saya dengan sia sia saya juga sudah punya banyak hal penting yang harus diurus. Malas sekali rasanya membicarakan apa apa yang sedang viral di sosial media, membahasnya hanya karena semua orang melakukannya. Cukup menjadi bahan obrolan saya dan Pak suami hingga menjadi refleksi kami dalam berbuat di kehidupan sehari hari. 

Setelah jadi ibu, saya jauh lebih mudah berempati pada kondisi ibu lain, pada perempuan lain. Saya meyakini bahwa setiap ibu pasti mau melakukan yang terbaik untuk anaknya, untuk keluarganya. Namun seringkali terbentur dengan hal hal lain di luar kendali sang ibu sehingga yang muncul ke permukaan adalah kelakuan/kejadian yang menurut kebanyakan orang tidak seharusnya. Bahkan kepada perempuan perempuan lain yang melakukan keputusan keputusan penting dalam hidup mereka pasti punya banyak pertimbangan. Apalah saya yang tidak tahu banyak tentang seseorang lalu sok tahu menghakimi. Jika ditanya, barulah saya akan menjawab, barulah saya akan menceritakan pengalaman saya. Karena ternyata tidak selamanya sharing itu tanda caring. Bisa saja menimbulkan miss komunikasi yang berujung pada perasaan negatif. Apalagi kalau yang dishare hanya potongan potongan kecil yang kemampuan dan kondisi orang yang mendengar/membacanya berbeda-beda. Yah...meskipun hal tersebut di luar kendali kita, namun lebih bijak rasanya kalau mau share sesuatu lihat audience kita dulu siapa.  

Saya menemukan cerita cerita soal perempuan di sekitar yang mengingatkan saya bahwa menjadi perempuan itu memang susah. Serba salah. Masyarakat yang sangat judgemental terhadap perempuan membuat posisi perempuan seringkali tidak kuat di tengah masyarakat. Mudah mendapat sindiran, halus ataupun kasar. Apalagi kalau si perempuan tidak memiliki karir di luar rumah, memilih untuk bekerja di rumah saja. Tidak hanya sampai di situ, bahkan ketika si perempuan yang bekerja menghidupi keluarganya tetap saja mudah mendapat penghakiman masyarakat. Masyarakat seolah olah lupa soal laki laki di rumahnya atau suaminya. Para IRT yang bekerja di komplek saya saja menjadi bahan pembicaraan tetangga tetangga hanya karena ia memakai lipstik dan memakai motor untuk bekerja. Memangnya kalau jadi IRT nggak boleh pakai lipstik dan motor? ~ nangis. Jika lipstik membuat lebih percaya diri, lebih bersemangat bekerja, kenapa tidak?  ~ kenapa menilai perempuan hanya dari lipstik yang mereka gunakan. Padahal pakai lipstik tidak melanggar hukum dan norma. Para perempuan ini adalah pencari nafkah utama di keluarganya. Mereka dengan sukarela bekerja agar kehidupan keluarganya tetap berlangsung. Adapula perempuan pekerja yang tidak berani mengambil keputusan berpisah dari suami toxic pengangguran dan pemabuk hanya karena tidak mau dicap sebagai perempuan yang tidak bisa mengurus rumah tangga. Karena perempuan janda cerai selalu dicap negatif oleh masyarakat. Ini kejadian nyata yang membuat saya berpikir bahwa perempuan tidak selalu leluasa mengambil keputusan dalam hidupnya. Menjadi janda adalah hal yang menakutkan, seringkali menjadi bahan olok olok di tengah masayarakat. Terutama bagi laki-laki. Mana ada status duda diolok olok? 


Yang berkomentar seperti itu biasanya perempuan juga. Sadar nggak sih kadang perempuan lebih sadis mengomentari perempuan lain. Kata kata seringkali lebih mudah meluncur. Tanpa pikir panjang, tanpa mikir sebab akibat. 

Menjadi perempuan seringkali terasa menyusahkan. Sejak masa kanak-kanak sering menerima kata-kata yang menyurutkan langkah. Diberi batasan, sedangkan anak laki-laki tidak. Hal ini terbawa sampai si anak perempuan besar, remaja lalu dewasa. Ketika perempuan ingin sekolah lebih tinggi dipertanyakan, perempuan belum menikah dipertanyakan, belum punya anak ditanya juga bahkan nambah anak juga dipertanyakan. Ketika anak rewel sakit yang dipertanyakan ibunya,  suami sakit yang ditanya istrinya juga, lalu si istri siapa yang nanyain?. Terlalu banyak pertanyaan/pernyataan judgmental yang ditujukan untuk perempuan. 

Membesarkan Katya anak saya yang perempuan membuat saya banyak merenung dan mendiskusikan banyak hal dengan Pak suami. Saya dan Pak suami menyamakan visi misi dan tujuan dalam membesarkan anak, termasuk anak perempuan. Bahwa perempuan juga punya pilihan yang sama dengan laki-laki. Bisa sekolah yang tinggi, bisa memilih hobi yang sama, bisa melakukan banyak hal yang menarik dan menantang. Tentu saja dengan memahami porsi diri masing-masing. Laki-laki dan perempuan setara, tidak ada yang lebih berkuasa dari yang lain. Kami memberi contoh langsung di rumah dengan berbagi tugas dalam menjalankan tugas rumah tangga. Pak suami juga terjun langsung mengurus Katya sejak hari pertama dia lahir. Pak suami sama pedulinya dengan saya tentang kesehatan Katya, BB dan TB Katya, aktifitas Katya dll. Pak suami dengan sukarela menjaga Katya ketika saya harus menjalankan tugas di luar rumah. Kami mencocokkan jadwal. Lalu tidak lupa bergembira bersama, hanya dengan keruntelan di kamar, masak dan makan makanan enak atau jalan jalan ke luar rumah. Saya percaya bahwa contoh yang diberikan secara langsung oleh orang tua di rumah akan mengurangi banyak hal menyusahkan di masa depan. Termasuk bagaimana laki-laki melihat perempuan, bagaimana perempuan melihat laki-laki, dan bagaimana perempuan dan laki-laki melihat diri mereka sendiri. Kami mau menumbuhkan rasa percaya diri, self esteem dan keberanian kepada anak anak kami. Perempuan ataupun laki-laki. 

Menjadi perempuan memang susah. Lebih mudah untuk disalahkan, seringkali suaranya dilupakan. 

Saya pribadi bersyukur bisa mengungkapkan pendapat saya secara bebas. Melalui platform ini misalnya. Karena saya tahu bahwa banyak perempuan lain di luar sana yang langkahnya terhenti, sekadar menyampaikan apa yang ia rasakan saja tidak bisa. Menjadi bahan becandaan sexist yang nggak ada lucu-lucunya, bahkan mendapat penghakiman dengan mudah di tengah masyarakat. 

Sebagai manusia dewasa saya mendukung pilihan pilihan yang dibuat oleh perempuan yang dilakukan secara sadar, paham konsekuensinya dan bertanggung jawab atas pilihannya tersebut. Juga tentu saja tidak melanggar hukum dan norma yang berlaku di tengah masyarakat. Saya juga mendukung bahwa perempuan harus berdaya, harus berilmu dan merdeka dalam berpikir. Karena hal hal mendasar inilah yang akan memberikan dampak kepada dirinya sendiri, keluarga dan orang-orang di sekitarnya. 

Much Love, 
A

No comments:

Post a Comment