Thursday, December 23, 2021

Menurunkan Ekspektasi, Berdamai Dengan Keadaan


Setelah menikah, lalu memiliki anak membuat saya beradaptasi dengan banyak sekali hal. Kini tidak hanya ada aku, tapi juga kami. Beberapa hal harus dipertimbangkan sebelum memutuskan sesuatu. Banyak kompromi yang dilakukan, ada hal hal yang lebih prioritas. Untuk apa? ~ tentu saja demi keberlangsungan kehidupan pernikahan dan ketenangan hidup. 

Keluarga saya tahu, saya seperti apa. Bagaimana rapinya saya, bagaimana saya memperlakukan barang barang saya. Saya terbiasa well prepared, sebisa mungkin membawa semua kebutuhan saya sendiri tanpa harus merepotkan orang lain. Saya selalu merapikan barang barang saya, everything in their place. Menutup pintu ketika keluar ruangan/kamar. Mematikan lampu kamar mandi. Meletakkan sepatu/sandal pada tempatnya. Memanaged apapun yang ada di sekitar saya. Kamar di rumah ataupun kamar kos saya sangat jarang berantakan. Karena sesuatu yang berantakan membuat saya tidak konsentrasi dalam melakukan hal yang lain seperti belajar. Ini menjadi habit yang entah diturunkan dari siapa. Ibuk dan Bapak saya sampai heran.

Tapi tapi tapi .... setelah menikah, mau tidak mau suka tidak suka saya harus menerima bahwa tidak semua orang sama seperti saya. Kalau dengan keluarga sendiri sih sudah maklum ya, dan mereka tidak banyak protes. Karena sayalah yang sering beres beres di rumah. Sedangkan ketika menikah, harus 24 jam dengan orang baru yang belum diketahui habit kesehariannya. Cukup membuat saya shock. Di awal pernikahan, saya menemukan fakta fakta baru tentang pak suami. Tentang hal hal sepele yang kadang membuat saya terheran heran, tentu saja karena membandingkan dengan diri saya sendiri. Hal yang paling bertentangan dengan saya adalah Pak suami seringkali, hampir selalu lupa mengembalikan barang pada tempatnya. Sesimpel mengembalikan sisir atau gunting kuku ke tempat seharusnya. Hal ini tentu harus dilakukan agar mudah menemukannya kembali. Tapi ya ampun Pak suami selalu lupa, sampai membuat saya kesal. Di awal malah seringkali lupa menjemur handuk yang sudah dipakai mandi. Ini apakah Pak suami doang yang gini atau para suami lain juga begini? wkwk ~


Pak suami kebalikan saya, selalu saya yang mengingatkan. Kadang sampai bosan. Kalau saya diemin kadang dia malah heran, kok nggak negur katanya? lalu saya sambut dengan wajah manyun -,-
Tapi sepertinya ini yang membuat kami cocok. Kami saling mengisi kekosongan masing masing. Seperti saya yang seringkali mengecek keperluannya dia. Merapikan barang barangnya dia. Diapun begitu, ketika saya emosi dia mendinginkan. Mencontohkan kesabaran ketika berhadapan dengan orang yang menjengkelkan. 

Perlahan lahan saya mulai menerima bahwa ruang kamar tidak harus selalu rapi, rumah tak harus rapi 24 jam. Ini sulit di awal bagi saya, karena saya bisa sangat kesal dan marah marah tidak jelas ketika mendapati rumah berantakan. Dan saya tahu marah marah saya parah, juga benar benar tidak baik bagi diri saya sendiri dan seisi rumah. Maka saya mulai menurunkan ekspektasi. Kadang manusia memang dibuat sakit karena ekspektasi yang terlalu tinggi. 

Tidak hanya perihal rumah dan perintilannya yang membuat saya menurunkan ekspektasi tapi juga dalam hal pengasuhan. Untuk hal hal tertentu saya strict pada Katya, seperti membangun disiplin dengan jadwal harian, makan harus di kursi, sikat gigi dll. Namun ketika Katya tidak menghabiskan makanannya saya tidak harus marah marah, karena ya mungkin dia memang sudah kenyang. Atau Katya menghamburkan mainannya ke segala arah, sayapun tidak harus menggerutu karena anak seusia Katya mana paham harus langsung beresin mainan. Harus diajarinlah dan diberi contoh. Semuanya berproses. Katya mau nyeker, main air, main pasir, merobek daun daun, tak masalah. Karena itu adalah proses dia belajar. Saya harus menurunkan ekspektasi saya bahwa berharap Katya akan langsung paham instruksi atau arahan saya.  

Menurunkan ekspektasi dan berdamai dengan keadaan ini membuat saya menjadi lebih tenang juga lebih rileks. Menghadapi Katya yang lagi aktif aktifnya juga tenang. Ini mengurangi kepanikan dan naiknya suara. Tapi saya tidak bisa memungkiri bahwa tidak selamanya saya tenang. Ada hari hari dimana rasanya lelah, letih lalu merasa kesal, pernah juga sampai burn out. Yah namanya juga manusia biasa Bund. 

Semuanya butuh proses. Pak suamipun sudah lebih disiplin dalam meletakkan barang barang. Sudah tidak terlalu butuh teguran. Begitupun saya yang sudah lebih santai dan tenang. Nggak mikirin semua hal sampai overthinking dan ribet sendiri. Kini mengelola ekspektasi memang jadi kuncian saya dalam menjalani hidup. Cieh. 

Mungkin pada mau coba juga? :)))

No comments:

Post a Comment