Saturday, June 15, 2013

Pram dan Gie

Kalau minggu-minggu kemarin saya banyak membaca buku-buku kumpulan cerpen.  Buku-buku yang bisa habis dalam sehari karena tidak menuntut pemikiran yang mendalam untuk dapat memahaminya. Namun minggu ini saya membaca buku yang agak berat, meminta perhatian dan pemikiran yang mendalam untuk dapat memahaminya. Tak ada alasan khusus yang membuat saya memilih membaca buku-buku ini. Namun buku-buku ini adalah buku yang sudah lama ingin say abaca dan baru tersampaikan sekarang.Minggu ini ada dua buku yang telah habis saya baca, yang pertama adalah Jejak Langkah karangan  Pramoedya Ananta Toer, ini adalah buku ketiga dari Tetralogi Buru karangannya. Buku kedua adalah buku karangan Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, dengan cover baru yang saya dapatkan dengan harga diskon sewaktu pameran buku beberapa waktu lalu.

Tetralogi Buru adalah buku yang sudah lama saya cari dan saya sangat ingin membacanya . Beruntung mbah putri punya koleksinya dan bersedia meminjamkannya pada saya. Membaca buku ini membuat saya semakin mengagumi sosok pengarangnya yang telah menghantarkan saya pada pemahaman bahwa sebagai seorang terpelajar kau harus tau hak-hak dan kewajibanmu terhadap sesama manusia, terhadap Bangsa dan Negara, dan betapa kegiatan menulis itu adalah bekerja untuk keabadian. Buku kesatu Tetralogi Buru “Bumi Manusia”  merupakan tahap perkenalan, periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator, keturunan priyayi Jawa yang sangat ingin bebas dan merdeka untuk membantu Bangsanya,  mengangkat martabat Bangsanya. Buku kedua “Anak Semua Bangsa”adalah periode observasi yang dilakukan Minke untuk mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Dan buku ketiga yang baru saja selesai saya baca  “Jejak Langkah” merupakan periode dimana Minke memobilisasi segala daya untuk melawan kekuasaan Hindia yang telah berabad-abad di tanahnya airnya. Yang menarik adalah ia tidak melawan dengan senjata, namun melalui kegiatan jurnalistik, tulis-menulis.  Membuat sebanyak-banyaknya bacaan untuk Pribumi yang ditulis dengan bahasa ibunya sendiri. Sebagai seorang yang terpelajar Minke berpikir bahwa harus ada orang yang memulai untuk membuat orang-orang Pribumi bangkit untuk melawan kekuasaan yang semena-mena dan menjajah. Dalam Jejak Langkah ini terekam langkah-langkah yang ditempuh Minke untuk membangkitkan semangat Bangsanya. Salah satunya adalah dengan jalan mendirikan organisasi Pribumi. Pribumi harus menjadi kuat , dan salah satu caranya adalah dengan organisasi. Mengertilah saya mengapa kita juga penting berorganisasi.

Buku selanjutnya adalah “Catatan Seorang Demonstran” yang ditulis oleh Soe Hok Gie, yaaa itu memang catatan harian dia. Berisi semua uneg-unegnya tentang pemuda, pelajar , organisasi, pemerintah. Dia begitu fenomenal karena seorang mahsiswa yang tak gentar menyampaikan kritikan dan pendapatnya terhadap pemerintah pada waktu itu. Terlebih lagi dia mati muda di puncak tertinggi Pulau Jawa.  Sosoknya yang terkenal membuat Mira Lesmana dan Riri Riza membuat Film tentang Gie ini. Dalam catatannya Gie banyak menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintah. Mengabadikan kejadian-kejadian penting yang terjadi pada masa orde lama. Menyampaikan kekuatan para pemuda yang tidak dapat diremehkan. Terbuktilah bahwa pemudalah yang menjadi tolak ukur akan dibawa kemana suatu Bangsa.

Banyak sekali pemikirin-pemikiran yang menakjubkan, yang tertuang dalam buku ini. Yang sayapun tak pernah terpikirkan sebelumnya. Membaca tulisan-tulisan mereka sama dengan belajar sejarah, agar lebih tahu tentang Bangsa sendiri, agar lebih tahu peranan pemuda dalam masyarakatnya, agar lebih cinta pada Tanah Airnya. Sosok Pramoedya dan Gie memiliki banyak kemiripan walau beda generasi, mereka sama-sama menentang kesewenang-wenangan, sama-sama mencintai bangsanya, memiliki semangat tinggi untuk merubah lingkungannya menjadi lebih baik, dan mereka berdua menulis. Karya mereka adalah sumbangan berharga untuk Indonesia.

Saya termenung dan berpikir setiap selesai membaca kalimat-kalimat dalam buku-buku tersebut. Merasa tidak ada apa-apanya saya dibandingkan dua orang yang telah menulis dan pemberani seperti mereka. Sebagai pemuda yang hidup digenerasi sekarang ini, kita memiliki tugas yang lebih penting lagi. Kita tidak  lagi berperang melawan penjajah yang terang wujudnya, namun melawan kekuasaan penjajah yang tidak kasat mata.

“Setiap yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir”

--Pramoedya Ananta Toer--

Usah Kau Lara Sendiri

Kulihat mendung menghalangi pancaran wajahmu

Tak terbiasa kudapati terdiam mendura

Apa gerangan bergemuruh di ruang benakmu

Sekilas galau mata ingin berbagi cerita

 

Kudatang sahabat bagi jiwa saat bathin merintih

Usah kau lara sendiri masih ada asa tersisa

 

Letakkanlah tanganmu di atas bahuku

Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu

Di depan samar cahya kecil tuk memandu

Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya

 

Sekali sempat kau mengeluh kuatkah bertahan

Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh

 

Kudatang sahabat bagi jiwa saat bathin merintih

Usah kau lara sendiri masih ada asa tersisa

 

Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya

Usah kau simpan lara sendiri

*Ini adalah lagu yang dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya dan Katon Bagaskara

**Saya ingin menyampaikan lagu ini untuk para sahabat yang jauh di mata namun dekat di hati.

 

Cerita Seekor Kambing dan Dua Remaja yang Cantik Hatinya

Ada dua kakak-adik perempuan, satu namanya Puteri (usia 13 tahun, SMP), satu lagi namanyaAis (usia 16 tahun, SMA). Mereka tidak beda dengan jutaan remaja lainnya, meski tidak berlebihan, juga ikutan gelombang remaja yang menyukai budaya popular saat ini, seperti lagu2, boyband, film2, dsbgnya. Kabar baiknya, dua anak ini memiliki pemahaman yang
baik, berbeda, dan itu akan menjadi bagian penting dalam cerita ini.

Suatu hari, guru agama di sekolahPuteri menyuruh murid-muridnya untuk membuat karangan tentang berkurban. Ini jadi muasal cerita, jika murid-murid lain hanya sibuk membaca sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, lantasmenuliskarangan, Puteri, entah apa pasal, memasukkan cerita hebat itu sungguh2 dalam hatinya. Tercengang. Dia bahkan bertanya pada orang tuanya, di meja makan, apakah keluarga mereka pernah berkurban. Setelah saling tatap sejenak, orang tua mereka menggeleng, tidak pernah. Ayah mereka buruh pabrik, Ibu mereka karyawan honorer, ibarat gentong air, jumlah rezeki yang masuk ke dalam gentong, dengan jumlah yang keluar, kurang lebih sama, jadi mana kepikiran untuk berkorban.

Puteri memikirkan fakta itu semalaman, dia menatap kertas karangannya, bahwa keluarga mereka tidak pernah berkorban, padahal dulu, Nabi Ibrahim taat dan patuh mengorbankan anaknya.Bagaimana mungkin? Tidakkah pernah orang tua mereka terpikirkan untuk berkorban sekali saja di keluarga mereka? Puteri mengajak bicara kakaknya Ais. Dan seperti yang saya bilang sebelumnya, dua anak ini spesial, mereka memiliki pemahaman yang baik, bahkan lebih matang dibanding orang-orang dewasa. Maka, mereka bersepakat, mereka akan melakukan sesuatu.

Uang jajan Puterisehari 8.000 perak, dikurangi untuk naik angkot, bersisa 4.000 untuk jajan dan keperluan lain. Uang  jajan Ais, 10.000 perak, dikurangi untuk naik angkot, bersisa 6.000, juga untuk jajan dan keperluan lain. Mereka bersepakat selama enambulan ke depan hinggahari raya kurban, akan menyisihkan uang jajan mereka. Puteri memberikan 2.000, Ais memberikan 3.000 per hari.

Enam bulan berlalu, mereka berhasil mengumpulkan uang 1,1juta rupiah. Menakjubkan.Sebenarnya dari uang jajan, mereka hanya berhasil menabung 600.000, merekajuga harus mengorbankan banyak kesenangan lain. Membeli buku bacaan misalnya, seinginapapun mereka memiliki novel-novel baru, jatah bulanan untuk membeli buku mereka sisihkan, mending pinjam, atau baca gratisan di page/blog, sama saja. Mereka juga memotong besar-besaran jatah pulsa dari orang tua, itu juga menambah tabungan. Juga uang hadiah ulang tahun dari tante/om/pakde/bude. Alhasil, enam bulan berlalu, dua minggu sebelum hari raya kurban, mereka punya uang 1,1juta.

Aduh, ternyata, saat mereka mulai nanya-nanya, harga kambing di tempat penjualan-penjualan kambing itu minimal 1,3juta. Puteri sedih sekali, uang mereka kurang 200ribu. Menunduk di depan barisan kambing yang mengembik, dan Mamang penjualnya sibuk melayani orang lain. Tapi kakaknya, Ais, yang tidak kalah semangat, berbisik dia punya ide bagus, menarik tangan adiknya untuk pulang.Mereka survei, cari di internet.Tidak semua harga kambing itu 1,3juta. Di lembaga amil zakat terpercaya, dengan aliansi bersama peternakan besar, hargakambing lebih murah, persis hanya 1.099.000. Dan itu lebih praktis, tidak perlu dipotong di rumah.Dan tentu saja boleh-boleh saja nyari harga kambing yang lebih murah sepanjang memenuhi syarat kurban. Senang sekali Puteri dan Aisa khirnya membawa uang tabungan mereka ke counter tebar hewan kurban tsb. Uang lembaran ribuan itu menumpuk, lusuh, kusam, tapi tetap saja uang, bahkan aromanya begitu wangi jika kita bias mencium ketulusan dua kakak-adik tsb.

Mereka berdua tidak pernah bercerita ke orang tua soal kurban itu.Mereka sepakat melupakannya, hanya tertawa setelah pulang, saling berpelukan bahagia.Dua bulan kemudian, saat laporan kurban itu dikirim lembaga amil zakat tersebut kerumah, Ibunya yang menerima, membukanya—kedua anak mereka lagi main kerumah tetangga, numpang menonton dvd film, Ibunya berlinang air mata, foto2, tempat berkurban, dan plang nama di leher kambing terpampang jelas, nama Ibunya.

Itubenar, dua kakak-adik itu sengaja menulis nama ibunya. Itu benar, dua kakak-adik itu ingin membahagiakan kedua orang tuanya.Tapi di atassegalanya, dua kakak-adik itu secara kongkret menunjukkan betapa cintanya mereka terhadap agama ini. Mereka bukan memberikan sisa-sisa untuk berkorban, mereka menyisihkannya dengan niat, selama enam bulan.

Itulah kurban pertama dari keluarga mereka. Sesuatu yang terlihat mustahil, bias diatasi oleh dua remaja yang masih belia sekali. Besok lusa, jika ada tugas mengarang lagi dari gurunya, Puteri tidak akan pernahkesulitan, karena sejak tahun itu, Ibu dan Ayah mereka meletakkan kaleng di dapur, diberi label besar-besar: 'Kaleng Kurban' keluarga mereka.

*Masih lama hari raya kurban, masih lama banget. Tapi itulah poin pentingnya. Jika kita menghabiskan uang 100ribu lebih setiap bulan untuk pulsa internetan, dll, maka tidakmasukakalkitatidakpunyauanguntuk berkorban. Belum lagi ratusan ribu buat makan di luar, nonton, jutaan rupiah buatbeligagdet, pakaian, dll. Begitu banyak rezeki, nikmat dari Tuhan, jangan sampai seumur hidup kita tidak pernah berkurban. Beli pulsa itusetelahmenabunguntuk kurban, bukan sebaliknya berkurban datang dari sisa-sisa beli pulsa.

**Maka buat yang tidak mampu uangnya, ayo mari menabung sejaksekarang, sisihkan. Buat yang tidak mampu niatnya—padahal uangnya banyak, ayo mari ditabung juga niatnya, dicicil, semoga saat tiba hari raya kurban, niatnya sudah utuh.

***Bantu saya menyebar pemahaman tentang pentingnya berkurban ini. Silahkan share, repos, copas tulisan ini di website, forum, dsbgnya yang kalian akses.

#ini adalah tulisan Tere Liye di fanpage facebooknya yang saya copy paste di blog ini, semogakita semua dapat belajar dari cerita ini.

 

Friday, June 7, 2013

Aku Ingin Menjadi Rumah

Aku ingin menjadi rumah,

Bukan sekedar kedai kopi tempat orang datang hanya untuk mencari teman ngobrol dan membuang jenuh, lalu pergi.

Aku ingin menjadi rumah,

Bukan sekedar rest area yang hanya didatangi orang untuk tujuan-tujuan tertentu,

hanya jadi tempat mampir, lalu pergi.

Aku ingin menjadi rumah,

Menjadi awal kebaikan,

Yang didalamnya tersimpan rasa tenteram,

Sumber rasa bahagia,

Yang selalu dirindukan.

Mesin Waktu

Saya butuh mesin waktu…..

Seandainya ada mesin waktu, saya hanya akan menggunakannya untuk kembali ke waktu ketika sebuah E-mail itu masuk ke akun E-mail pribadi saya. Berharap ketika itu saya dapat membacanya, tidak terlambat seperti saat ini. Sebenarnya itu adalah E-mail yang saya tunggu-tunggu. Namun apa daya, ketika akun E-mail saya tiba-tiba error dan membuat saya membaca E-mail itu terlambat. Keterlambatan itu membawa serta kesedihan atas kesempatan yang hilang.

Yaa…saya hanya ingin kembali ke waktu dimana saya bisa membaca E-mail itu tepat waktu.

Namun saya tahu pasti bahwa kita tidak akan mungkin dapat memutar waktu persis seperti kemarin. Karena telah menjadi masa lalu, yang selalu berada di belakang. Yang ada di depan hanyalah hari baru yang butuh diisi, sederhana saja, diisi dengan yang lebih baik dari hari kemarin.

Ada yang pernah mengatakan bahwa kesempatan dan keberuntungan tidak selalu melayang rendah sehingga mudah ditangkap. Semuanya harus diusahakan. Seberapa besar usaha akan menentukan apa yang kita dapatkan.

Mungkin usaha yang saya lakukan kurang maksimal. Kesempatan yang lain pasti akan datang. Harus yakin. Sekarang hanya perlu Stand Up Again :)