Thursday, November 27, 2014

Cerpen: Gadis Di Persimpangan Jalan (Bag. 1)

Sore itu langit gelap menurunkan hujan deras. Jam tangan menunjukkan baru pukul 4 sore, seharusnya langit tak segelap itu. Jalanan sepi, orang-orang sepertinya lebih memilih menikmati selimut hangat di rumah masing-masing. Berbeda denganku yang sedang kepayahan menuntun motor butut karena kehabisan bensin di tengah derasnya hujan. Akhirnya aku memutuskan berteduh di sebuah warung yang tak jauh dari persimpangan jalan yang kulewati. Aku basah kuyup dan menggigil kedinginan.

Aku memesan segelas kopi panas untuk menghangatkan badan pada ibu warung yang menurutku terlalu cerewet. Ia tak hentinya berbicara. Berbicara tentang apa saja yang terlintas di kepalanya. Mulai tentang anaknya yang nakal, tentang tetangganya yang tukang pamer, dan tidak ketinggalan tentang kenaikan BBM yang diikuti dengan kenaikan harga barang-barang sedangkan warungnya juga tak ramai. Aku hanya mendengarkan tanpa komentar, tapi ibu warung tidak peduli ia terus saja bicara. Sepertinya ia memang tidak butuh untuk dikomentari, ia hanya ingin menumpahkan isi hati tanpa harus dihakimi pendengarnya. Bukankah manusia seringkali butuh yang seperti itu.

Kopiku telah setengah. Hujan tak juga menunjukkan tanda akan berhenti. Rintiknya semakin keras saja menimpa atap asbes warung dan sanggup melunakkan tanah yang keras. Suaranya menarik perhatian karena tak ada yang seharmonis itu, pun riak gelombang yang ditimbulkannya. Namun, mataku menangkap sesuatu yang lebih menarik di persimpangan jalan, setidaknya untuk mata dan otakku.

Seorang gadis berdiri di persimpangan jalan, tidak jauh dari warung tempatku berteduh. Ia berdiri menatap persimpangan jalan yang sepi itu. Di bawah payung hijau ia berdiri, yang ternyata tak cukup melindunginya dari hujan. Hujan deras tampias mengenai bajunya membuat ia kuyup, namun ia tak menggigil. Gadis itu berpakaian rapi, memakai sebuah sepatu yang sangat pas dengan kakinya dan rambut yang digerai. Penampilannya seperti orang yang akan bertemu dengan seseorang yang telah ditunggu-tunggu. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, aku heran. Begitu derasnya hujan turun namun ia tak beranjak satu sentipun dari tempatnya berdiri. Sepertinya ia memang telah mempersiapkan tenaganya agar kuat berdiri di sana. Apa gadis itu sudah gila, pikirku. Aku penasaran.

Ibu warung membaca pikiranku, karena mataku yang lama memperhatikan gadis itu. Gadis itu sudah lama selalu berdiri di situ, setiap sore sampai waktu magrib menjelang malam, kata ibu warung. “Mungkin dia orang gila, tak peduli pada penampilannya, sekarang kan memang banyak orang gila, mengikuti dunia yang juga sudah gila”, ibu warung menambahkan. Aku tertarik dengan kalimat ibu warung, namun sayang ia malah tidak melanjutkan bicaranya. Sinetron Serigala yang tak bermutu yang ditayangkan TV itu ternyata lebih menarik perhatiannya. Aku menarik nafas, entah untuk bagian yang mana.

Perhatian berusaha kualihkan pada kopi dalam gelas yang kadar panasnya telah menurun. Kuseruput untuk kesekian kalinya. Aku belum mau menghabiskannya karena hujan belum reda dan uangku yang tidak cukup untuk membayar dua gelas kopi. Motor bututku butuh bensin, agar aku bisa sampai di kamar kosku yang sesak. Ternyata setelah melihat gadis itu otakku tak henti berpikir tentangnya. Siapa dia? Darimana asalnya? Apa dia sedang menunggu seseorang?

(bersambung)

2 comments:

  1. azmiii.....cpetan posting bag.2 nya...penasaran sy,,,,hahahaha

    ReplyDelete
  2. Haha..tenang yuu, sebentar lagi saya posting lanjutannya.

    Gimana? udah lahiran belum?

    ReplyDelete